Kenalkan, namaku IMManuel, yes I have three capital characters in my name, and never ask me why. Aku seorang detektif swasta, ya aku tahu, seorang detektif profesional tidak akan mengabarkan ke semua orang bahwa dirinya adalah detektif. But I give no shit about it!.
Kebetulan Aku baru saja tiba dari Oberhousen. Oh my God, I really miss my room. It’s been 1 month since we were far apart!. Kasus pembunuhan keluarga yang barusan kuhadapi terasa begitu berat, pola kejadian yang semrawut, ditambah lagi missing link yang tim dapati.
Belum selesai kulepas kancing jas berwarna biru dongker kesukaanku, aku kembali teringat dengan satu amplop besar berwarna merah marun yang diberikan komandan Soedibjo Markus kepadaku ketika beliau mengantarku di bandara München Airport,
“IMManuel!, misi baru, bintang 3,5, kebetulan kau tuan rumahnya.”,
“3,5 stars? In Munich?. Is it really that damn-dangerous?."
"Silakan kau pelajari, waktumu tidak banyak, 5 hari dari sekarang."
"Itu terlalu singkat komandan!.”
"We need to be fast, and deep. That’s why I take you."
"Roger that!”.Tidak jadi kuraih kopi arabica yang barusan kuseduh, langsung turunkan tas carier dari atas almari. kubuka amplop besar itu.
Oh ini tulisan Komandan Soedibjo. Aku kenal tulisan ini.
“IMManuel Ada satu peristiwa yang menggelitik namun juga terasa begitu memilukan pada beberapa hari ke belakang. Satu kejadian yang harusnya tidak perlu terjadi dan memang tidak seharusnya terjadi atas nama kebenaran dan kepatutan.”
“Kejadian memilukan ini terjadi di Jalan Tsan-Chang, tempat bersemayamnya anak-anak muda yang konon kabarnya secara gambang memperjuangkan nilai-nilai religiusitas, intelektualitas, dan humanitas. Segerombolan pemuda yang bercita-cita untuk membentuk akademisi Islam yang memiliki akhlak mulia agar supaya tujuan mereka untuk mewujudkan Umat Islam yang benar-benar benar di tanah Deutschland bisa terwujud.”Wah, mereka pasti orang-orang yang baik..
“Namun apa yang terjadi kemarin di Jalan Tsan-Chang sungguh memilukan, Jalan Tsan-Chang sebagai simbol dan gerakan pencerahan namun justru dijadikan majelis pemerkosaan politik. Bagaimana tidak, entah mengapa dalam momentum yang seharusnya menjadi ajang para kaum muda ini untuk berrefleksi, merenung dan bermuhasabah ini, nyata-nyatanya justru menjadi ajang pesta pemerkosaan politik. Secara kontinu, dua kubu calon raja—yang tengah bertarung mencari perhatian orang-orang—datang ke Jalan Tsan-Chang ini. Mereka datang dengan membawa dirinya yang penuh kedamaian, senyam-senyum, dan ketawa-ketiwi untuk memperkosa pemuda-pemudi yang InsyaAllah ideologis ini.”Wtf, I mean, really?. Lho kok bisa para figur politik ini datang ke acara mereka?. I think something was wrong there.
“Ngeri rasanya untuk membayangkan mengapa tega para tim calon raja ini untuk mendatangi Jalan Tsan-Chang yang merupakan Simbol Suci, Tempat Sakral, dan Majelis Mulia ini. Kengerian saya semakin meninggi manakala harus membayangkan betapa ribu orang yang terluka atas tindakan keji pemerkosaan yang mereka lakukan. Entah berapa banyak pemuda-pemudi yang tidak terima manakala ideologi Jalan Tsan-Chang ini, yang dengan susah payah mereka bangun dengan keringat dan air mata ternyata justru menjadi ajang pemerkosaan.”
“Sumpah serapah ingin saya layangkan kepada para calon raja ini, saya fatwakan bahwa pemerkosaan politik yang mereka lakukan adalah tindak dosa, melukai perasaan dan ideologi ribuan pemuda Jalan Tsan-Chang sehingga layak untuk dituntut di mahkamah keabadian kelak!.”Okay, my first analysis… ada beberapa variabel yang kudapatkan dari tulisan komandan Soedibjo ini, pertama Pemuda Jalan Tsan-Chang ini bukan pemuda biasa, sepertinya mereka adalah mahasiswa, terpejalar, agamis, dan bergerak di bidang kemanusiaan.
“IMManuel, misi ini sederhana… kamu pelajari tentang perkumpulan pemuda yang (katanya) religious, intelek, dan humanis ini. Selamatkan mereka dari bahaya arus politik dan tipuan pragmatisme, kemudian carilah cara terbaik untuk menyadarkan mereka.”
~ Soedibjo Markus
YK Special Regency Division
CODE: 14041964
Yang kedua, datangnya politisi di Jalan Tsan-Chang ini tentunya merupakan tindak anomali karena melabrak nilai-nilai dan ideologi yang mereka usung, and well that’s the case.
Dan yang ketiga—and this is the variable I have to solve for—ada apa gerangan?, apa yang sesungguhnya terjadi dibalik kasus pemerkosaan politik ini?, siapa yang disebut pelaku dan siapa yang disebut korban?.
Hmm… Sepertinya perlu bagiku untuk menelisik lebih jauh tentang organisasi ini.
Kuambil laptop di laci.
Sreettt..,
klik, kutekan tombol Power,
maka sepersekian detik kemudian muncullah browser Mozilla Firefox dengan web google search yang siap kumasukkan keyword pencariannya.
Setelah kulakukan beberapa observasi dan studi pustaka kukaji lebih dalam tentang perkumpulan ini maka kudapati beberapa informasi lebih mendalam tentang mereka: apa yang sebetulnya menjadi ranah pergerakan mereka, apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan, dan baru kuketahui bahwa mereka merupakan organisasi otonom dari salah satu Organisasi Masyarakat terbesar di negeri ini.
“Ooooh, mereka adalah anak dari Organisasi Mentari?”, tanyaku kepada diriku sendiri.Aku tahu betul tentang organisasi ini, I mean I have some friends there, and I think they have really nice personalities. Aku yakin bahwa bila mereka memang eksponen dari Organisasi Mentari maka nilai-nilai serta ideologi yang mereka usung pastilah sesuai, sejalan, dan selaras dengan induk mereka di Organisasi Mentari.
Hmmm.... okay, agaknya mulai kudapati awal pola dari kasus ini, tidak butuh waktu lama, mulai kudapati titik terang lorong panjang kasus Pemerkosaan Politik ini.
Maka dengan ini meningkatlah kepercayaan diriku, kesimpulanku mulai bulat bahwa pemuda Jalan Tsan-Chang adalah murni korban pemerkosaan. Saya percaya, tidak mungkin pemuda Jalan Tsan-Chang yang saya dengar sebagai pemuda yang religius dalam beragama, intelek dalam berpikir, serta humanis dalam bergerak ini ikut campur dalam lumpur kotor perpolitikan, apalagi sampai mempersilakan ideologi serta independensi untuk diperkosa atas nama politik?. Ah! Saya rasa Pemuda Jalan Tsan-Chang tidak mungkin bertindak demikian!.
Well, sepertinya sudah saatnya kasus ini kuuji dengan jurus pamungkasku, THE NEGATIVE DIALECTIC METHOD, metode menegasikan segala informasi dan keterangan yang masuk dengan pernyataan-pernyataan yang berlawanan. Maka bila analisisku lolos pada tahap negative dialectic ini maka bulatlah sudah penelitianku.
Okay, mari masuk ke pernyataan pertama: mereka mengusung gerakan religius, intelek, dan humanis serta menjaga independensi dalam perpolitikan. Benarkah demikian?.
Apa yang terjadi kemarin sesungguhnya susah untuk kusebutkan sebagai representasi dari ketiga nilai di atas, perhatian khususku tertuju pada hadirnya dua kubu raja yang tengah bertarung di perpolitikan negeri ini.
Setidaknya ada dua hal yang mengganjal dalam pikiranku, Pertama hadirnya dua kubu raja yang tengah bertarung ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tindak religius, intelektual, apalagi humanitas,
Yang kedua dan yang paling utama adalah hadirnya mereka telah mendustakan prinsip independensi politik Pemuda Jalan Tsan-Chang.
“Ah! Sialan, analisaku nampaknya gagal pada level dialektika negatif!.”, gumamku dalam hati.
Dahiku semakin tertekuk, sesekali kupijit sendiri keningku.
“Ada yang keliru dalam analisisku”.
Baiklah, mari kita coba masuk ke dialektika negatif yang kedua, oh no! diriku yakin bahwa dengan tarbantahkannya analisaku yang pertama maka akan sekaligus meruntuhkan seluruh analisaku selanjutnya..
Sepertinya aku butuh jalan pintas. Aku butuh variabel penyelidikan baru!.
“Primary Key!, I need primary key!!”,Jemariku sibuk mengetuk meja, kaki-kakiku bergantian menghentak lantai. Tapi pikiranku kosong.
“Oh come on… think more, think more."
“Oh Shit.. please no more missing link!..”
Ayolah, ayolah…
Mataku terpejam, otakku berputar-putar, memutar waktu ke belakang, menuju Kota Munich pada tanggal 16 sampai 23 Maret 2018 ketika perkara itu terjadi.
Satu dua detik hening
Tik tok
Tik tok
“OH MY GOD!,” kubanting segenggam tanganku ke permukaan meja.
“How stupid I am!”
Bagaimana bisa aku melakukan penyelidikan tanpa menyertai dokumentasi dan fakta-fakta yang terjadi di lapangan!.
Kuhela nafas panjang dan dalam...
…
…
Oh! I think I still have jet leg in my head. I need to take a rest, just for a while..
Mana bantalku..
di mana kasur..
aku butuh dekat denganmu..
Maka selanjutnya adalah gelap, bersama pikiranku yang masih terngiang-ngiang tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Jalan Tsan-Chang.
***
Matahari belum nampak manakala ponselku berteriak kencang tepat di permukaan telinga.“Hello, IMManuel is here.”,
“IMManuel, Saya Soedibjo, maaf menelponmu pagi di pagi buta begini.”
“Saya telah mengutus Tim Alpha 323, mereka beranggotakan 2 orang dengan level intermediate untuk meninjau dan mengumpulkan segala informasi berikut seluruh data kasus Pemerkosaan Politik di Jalan Tsan-Chang Kota Munich."
“Sekarang juga temui saya di Berlin, koordinat akan saya tampilkan di panel mobilmu, kita terbang ke Stockholm, di sana kita akan kaji lebih dalam berikut hasil investigasi dari Alpha 323.”
“Menemui anda di Berlin, kemudian terbang ke Stockholm. Okay roger that.”.Diriku masih Berantakan, jas biru dongkerku kembali kupasang. Laptop, amplop merah marun, serta jaket musim dingin kujejal-jejalkan ke dalam tas carier, dan selanjutnya adalah Volkswagenku yang membelah pagi buta jalanan Munich di pengawal musim semi. Gutten Morgen Munich.
Matahari sudah dua jengkal di atas ufuk ketika pesawat germanwinngs mendarat di Bandara Stockholm Skavta. Angin timur yang berhembus di awal musim semi terasa begitu kering dan dingin. Namun kegelisahan dalam pikiranku jauh lebih kuat.
Anomali yang terjadi di Jalan Tsan-Chang begitu besar, paradoks antara ideologi dan independensi politik dengan kasus Pemerkosaan Politik terasa begitu sulit untuk dimengerti.
Ada apa gerangan?. Bagaimana bisa politisi masuk ke dalam majelis yang mulia untuk kemudian memperkosa ideologi mereka?. Mataku menatap kosong jendela mobil Chevrolet Corvettte hijau gelap yang bergerak sayup sunyi menuju Bergshammar bersama pikiran dan fakta kejadian yang pecah kongsi di Jalan Tsan-Chang.
....
Saat ini aku berhadapan dengan meja bundar dengan dua lampu berwarna sephia. Semuanya hening sampai dua Orang datang membuka pintu. Komandan Soedibjo yang sedari tadi kudapati merunduk—kurasa beliau amat menaruh perhatian terhadap perkumpulan Pemuda Jalan Tsan-Chang ini, entahlah apa hubungan antara seorang Soedibjo Markus terhadap perkumpulan Pemuda Jalan Tsan-Chang ini.
Datang dua orang dengan cukuran cepak, dengan menggunakan tuxedo berwarna abu-abu dan biru gelap.
“Hyvää huomenta, Noora ja Heidi.”, Komandan Soedibjo nampak akrab menyalami mereka
“Hyvää huomenta Komentaja Soedibjo, mukava tavata sinut.”,
“IMManuel, kenalkan, Noora dan ini Heidi.”, Kujabati tangan mereka, oh langsung dapat kutebak bahwa mereka adalah Alpha 323.
“Baiklah, langsung saja kita mulai, Alpha 323 sampaikan hasil investigasimu di Munich Tsan-Chang Street.”
“Okay Commander… Ada beberapa informasi yang kami dapatkan, dan beberapanya boleh jadi merupakan primary Key dari kasus yang terjadi ini.”, jelas Noora sambil menata berkas-berkas investigasinya.
“Baguslah, saya ingin segera mendapatkan informasi penjelasan atas tindak kejahatan Pemerkosaan Politik yang para calon Raja lakukan kepada anak-anakku di Tsan-Chang Street."Oh, baru kuketahui, ternyata perkumpulan pemuda Jalan Tsan-Chang ini merupakan anak didik dari Komandan Soedibjo. Itulah sebabnya sejak surat yang dia kirimkan kepadaku bernuansa agar diriku mencari cara untuk mencari dalil bahwa dua raja ini adalah yang menjadi pelaku ini
“Pegang omongan saya! Kalau sampai Pemuda Tsan-Chang kotor dan busuk seragamnya karena ikut-ikutan aktivitas Pemerkosaan ini, saya ikhlaskan Tuhan dan semesta untuk menghukum mereka.”
“Well, Commander Soedibjo, kami hanya akan bertindak profesional, apa yang kami sampaikan adalah apa yang memang kami dapati di lapangan.”, kali ini giliran Heidi yang menjawab.Dari mimik mukanya kutangkap ekspresi yang berbeda, ada yang sedang ia jaga. Nampaknya dia sedang menjaga perasaan dari Komandan Soedibjo.
“Well, tell us then..”Noora mulai menujukan berkas yang barusan ia tata kepada komandan Soedibjo.
“Kasus Pemerkosaan Politik ini pada hari Minggu, 16 Maret 2018 di sebuah aula di jalan Tsan-Chang bernama Darwish-Hall di sana tim dari salah satu Raja yang akan bertarung melancarkan aksi.”
“Aksi apa yang orang ini lakukan?.” Sambut Komandan Soedibjo.
“Bisa anda lihat dalam foto bersama ini, nampak tamu utama dari acara ini menampakkan satu simbol pada tangannya yang tidak biasa.”
“Okay I see, and what kind of symbol is that?.”
“Gestur tangan yang orang ini tunjukkan adalah simbol huruf ‘a’ dalam bahasa isyarat. Ini merupakan cara kampanye yang mereka lakukan sebagai identitas diri dari tim Raja yang berinisial ‘a’”Komandan Soedibjo menarik nafas, ia terdiam sebentar kemudian hening, ia tak memberikan komentar apapun, untuk kemudian memberikan secarik foto tersebut kepadaku.
Aku amati foto tersebut, aktivitas foto ini dilakukan dengan sadar dan sukarela, ekspresi dari pelaku maupun pemuda Jalan Tsan-Chang yang ada di dalamnya tidak menunjukkan ekspresi keberatan atau penolakan. Aku belum berani untuk memberikan kesimpulan apapun atas foto ini, namun seperti yang masyhur di katakan orang, dalam satu gambar foto dapat menjelaskan lebih dari 1000 pesan, dan dalam foto ini tidak banyak pesan yang bisa kudapatkan kecuali pesan yang akan mengecewakan Komandan Soedibjo.
Kukira aku sudah tidak perlu menjelaskan analisaku kepada Komandan Soedibjo, apa yang ada di dalam foto tersebut telah memberikan informasi yang gamblang. Aku tak tahu, Komandan Soedibjo masih belum meminta analisaku. Selanjutnya adalah hening.
“Komentaja Soedibjo”, Sampai akhirnya Heidi memotong keheningan ini.
“Kyllä, heidi välittää löytämäsi tiedot..”, jawab Komandan Soedibjo dengan setengah nafas.
“I found another document.”
“Dokumentasi selanjutnya terjadi di tempat dan nuansa acara yang sama namun pada waktu yang berbeda, dokumentasi ini terjadi pada hari Jumat tanggal 23 Maret 2018. Dan yang kudapati bukan berbentuk gambar atau foto namun berupa rekaman video”
“Baiklah, silakan tunjukkan apa yang kau temui Agen Heidi.”,Heidi mengambil sebuah kepingan klip DVD di saku dalam luxedonya. Untuk kemudian iya nyalakan dalam DVD Player di pojok ruangan ini.
“Komandan Soedibjo, ini merupakan rekaman isi dari kegiatan tersebut.”Kami menonton video dengan durasi sekitar 23 detik ini, nampak pemuda-pemudi berkumpul dalam satu aula. Semuanya berdiri sambil memekikkan kata-kata. Aku tidak begitu jelas menangkap kata-kata itu, lebih baik kutunggu dulu penjelasan dari Agen Heidi.
Sementara mataku masih sempat melirik Komandan Soedibjo meski beberapa detik. And I can get a disappointed expression on his face.
“Komentaja Soedibjo”, Agen Heidi nampak mulai bersiap memberikan penjelasannya..
“Dalam klip tadi nampak pembawa acara memekikkan satu kosakata dalam bahasa Deutch Spreche yaitu ‘vermisse’ dan kemudian disambut dengan kosakata ‘Meister’.”,
“Saya berusaha mencari translasi terbaik dari kosakata ini ke bahasa Inggris atau Soumi.”
“Kata yang dipekikkan pembawa acara artinya adalah ‘KANGEN’.”
“Kemudian disambut dengan pemuda-pemudi Jalan Tsan-Chang dengan kosakata ‘MENANG’.”
“Selanjutnya saya mendapatkan informasi valid-confirmed bahwa “KANGEN-MENANG!” adalah jargon kampanye yang digunakan oleh salah satu tim raja yang juga.”
“And then, pada kegiatan ini bukan tim dari calon raja yang datang, melainkan si calon raja itu sendiri yang hadir dalam kegiatan tersebut.”What the hell.. klip tadi nampaknya jauh lebih gamblang menggambarkan apa yang terjadi sebelumnya!.
Entah apakah aku harus bergembira atas ditemukannya primary key kasus ini, atau menaruh simpati kepada Komandan Soedibjo atas apa yang terjadi dalam internal Pemuda Tsan-Chang Street.
Saat itu yang kupikirkan adalah bahwa penyebab dari buntunya analisaku pada tahap negative-dialectic adalah karena ada missing-link yang terjadi. Dan sekarang missing-link yang juga merupakan primary-key dari kasus ini telah kudapatkan.
Aku tidak sempat melihat Komandan Soedibjo, diriku tengah sibuk membangun kesimpulan akhir dari kasus ini. Dan kukira aku telah menemukannya.
Sampai akhirnya Komandan Soedibjo menyadarkan perhatianku.
“I know Son, I know”.
Kudapati Komandai Soedibjo banyak menyapu mukanya, ekspresi antara kecewa dan sedih nampak lekat pada mimik mukanya, dan sungguh tak tahu harus bagaimanakah aku meresponsnya.
“kiitos paljon apua.”
“Mielestäni työsi tehdään täällä.”
“Nyt voit palata helsingin liittovaltion toimistoon”, komandan Soedibjo nampak berdiri sambil berkacak pinggang.Kemudian diikuti oleh Noora dan Heidi,
“hyviä komentajia, onnellisena auttamassa”, kemudian mereka menyalamiku dan bergegas pergi.
“Baiklah IMManuel, agaknya segala urusan kita di Swedia sudah selesai. Selanjutnya kau bisa ikut dulu denganku ke La Rochelle, istriku pasti telah meyiapkan roti panggang dan teh madu yang nikmat. Untuk sekarang aku merindukan keluargaku..”
“Baik Komandan”,Kukemasi segala barang-barangku. Sejurus kemudian kami telah kembali menaiki Chevrolet Corvettte menuju Stockholm Skavta Airport.
“Kau tahu?.” Tanya komandan Soedibjo, matanya menatap ke depan sambil memegang steer, nampaknya ia sedang memulai percakapan denganku.
“Apa itu Komandan?.”, jawabku singkat.
“Mereka itu, Pemuda Jalan Tsan-Chang merupakan organisasi otonom dari organisasi Mentari, salah satu organisasi masyarakat terbesar di negeri Deucthland ini. Organisasi Mentari konsen hanya untuk pengabdian kepada masyarakat dan dengan tegas menyatakan bahwa mereka adalah independen dari segala bentuk aktivitas politik.”
“Apa yang mereka lakukan sungguh sudah betul-betul memperkosa nilai-nilai, ideologi dan komitmen sebagai organisasi otonom dari Mentari. Kekecewaanku sungguh amat mendalam.”
“Apa yang membuatmu kekecewaanmu begitu dalam Komandan?.”, tanyaku penasaran.
“Akulah dulu yang mendirikan Pemuda Jalan Tsan-Chang.”
“Oh my God! Really?.”Kemudian adalah nafas panjang yang ditarik oleh komandan Soedibjo.
“Iya nak, dulu, sangat dahulu sekali, manakala diriku ini masih muda. Ketika darahku mengalir bersamaan dengan idealismeku.”
“Lalu selanjutnya apa yang akan kau lakukan Komandan?.”, tanyaku dengan serius. Kali ini aku murni bersimpati. Maksudku, ah... melihat anak keturunan ideologisnya ternyata yang justru ikut melacuri ideologinya sendiri tentunya akan terasa begitu menyakitkan.”
“Apa?. Kau masih muda tapi lebih pikun dariku nak!.”
“Bagaimana maksud anda?”, tanyaku bingung.
“Sudah kukatakan sekarang aku mau ke La Rochelle, bertemu Istriku dan menyantap roti bakar dan teh madu!.”,Maka seketika pecahlah tawa kami..
Dan ketika tawa kami terhenti, keluarlah kalimat dari Komandan Soedibjo
“Nak, Usiaku sudah uzur, tidak banyak yang bisa kulakukan. Sungguh amat dalam kesedihanku melihat apa yang sesungguhnya terjadi di Tsan-Chang Street. Namun apalah dayaku saat ini.”,
“Namun yang akan kulakukan bila kelak aku wafat adalah, aku ingin bersaksi di hadapan Tuhan bahwa aku tidak pernah ridho terhadap segala tidak pemerkosaan politik yang dilakukan atas nama Pemuda Jalan Tsan-Chang.”, jelas Komandan Soedibjo dengan nada yang datar sembari lurus menatap jalan.
Aku sempat menatap mukanya sebentar, untuk kemudian menjawab, “Okay Commander,roger that.”Maka setidaknya itulah percakapan terakhir diriku bersama Commander Soedibjo Markus, serta keluarganya yang begitu bersahaja di La Rochelle, France.
Tentang apa itu Pemuda Jalan Tsan-Chang: apakah ini kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh politisi, atau bentuk pelacuran yang dilakukan oleh oknum Pemuda Jalan Tsan-Chang, I don’t give any shit on it.