Memecundangi Kepentingan Diri

Monday, November 23, 2015


Pintu Masuk Dekanat di Salahsatu Fakultas Kampus

Dulu tuh waktu masih kecil, kayanya enak banget ya, kita bisa lari-lari, kesana kemari, ketawa dengan leapasnya. Definisi bahagia waktu itu tuh sederhana banget, cukup ketemu temen, main permainan terus ketawa bareng. Kalau udah dzuhur pulang bentar, makan disuapin ibu, trus abis itu tidur beres ashar main lagi, baru pulang pas maghrib. eeh.... Jadi curhat masa-masa bocah. Hehe.

Tapi serius, dulu tuh semua rasanya sederhana, dan mengalir apa adanya, kita ketemu orang yak arena pengin ketemu aja, pengin main, senyum dan ketawa bareng. Dulu tuh ngga ada yang namanya sakit hati, hanya paling lutut lecet gara-gara jatuh waktu sepeda-sepedaan, ada juga sih musuhan tapi itu juga cuman gegara kalah pas main petak umpet, atau curang pas main kejar-kejaran, sehari dua hari juga bakal balikan lagi.

Makin kesini kayanya makin beda, makin gede kayanya orang-orang mulai beda. Beberapa orang mulai berkelompok, walaupun kayanya hal ini udah jadi hukum alam, ngumpul sama orang-orang yang emang sama, misalnya satu kelas pas sekolah, sama hobinya, sama idolanya, sama aktivitasnya, dll. Definisi bahagia kayanya menjadi semakin menyempit, ketika kita (atau mungkin cuma menurutku?) bisa mencapai tujuan sama komunitas di sekeliling kita, misalnya jalan-jalan bareng temen kelas, kumpulan pramuka atau osis, dan kalau liat komunitas lain bawaannya pengin saingan. waktu itu tuh lagi seneng-senengnya nunjukin eksistensi diri. Gitu nggak sih?. Iya kan?.

Daan, makin kesininya lagi, aku merasakan perbedaan yang kentara banget, kayanya setiap orang nggak lagi berkelompok, tapi masing-masing udah punya konsep bahagia sendiri, meskipun ia berkelompok, ia dalam satu komunitas, namun belum tentu hatinya ada di situ. Ada lagi yang mulai main politik, masing-masing individu bergabung, membangun kekuatan buat nyapai tujuan, sikut lawan politiknya, bungkam tim lawannya, tapi ujung-ujungnya cuma dalam rangka muasin pribadi doang. Ah, gelap sekali pokonya. Kayanya makin gede orang tuh nggak lagi kaya dulu anak-anak, ke sana kesini ya karna pengin aja, mau ketemu orang ini atau itu yak arena pengin aja, sederhana dan mengalir. Tapi sekrang nggak, sekarang ngga kaya gitu.


Disadari atau nggak, diakui apa nggak, sebenernya kita mulai digerakkan, nggak lagi bergerak atau bahkan tergerak. Kalau mau ketemu sama orang sekarang harus tau alasannya, ketika mau ngomong sama seseorang kudu punya tujuan, dan bahkan ketika berpapasan dengan orang bentuk sapaan yang diberikan tuh beda-beda. Misalnya nih, kalau di kampus ketemu dosen, sama ketemu temen lama pas mau ke warteg, gimana responsnya?, pasti bakal beda kan?. Kalau dipanggil dosen buat ngurus nilai yang masih kurang, wuuh, bakal buru-buru tuh cabut ke kampus, dibelain ngga mandi atau sekedar nyisir rambut. Tapi kalau diajak orang lain mah suka diundur-undur, gimana mood atau keadaan sendiri.

Akhirnya lama-lama aku mulai ambil kesimpulan, bahwa lama-lama kita itu digerakkan oleh satu hal. Apa satu hal itu?. Yaitu KEPENTINGAN, kenapa kalau dipanggil dosen kita bakal setengah mati lari-larian ke kampus, sdgkan kalau janji ama temen suka ditanti-nanti?, ya itu karena perbedaan kepentingan. Kenapa kalau jalan terus papasan sama dosen kita hormat mampus ke beliau, tapi ke temen lama bodo amat malahan pura-pura nggak liat?. Sekali lagi karena beda kepentingan, si dosen punya pengaruh kuat sama nilai kuliah kita, sedangkan si temen lama mungkin lagi ngga ada urusan, ngapain nyapa, gw kan lagi buru-buru. Dan contoh-contoh lain yang gw rasa bisa kita cari sendiri di kehidupan masing-masing.

Yaa baiklah, mungkin kalau kita hormat ke dosen itu adab seorang murid ke guru, sah-sah aja, dan emang kudu gitu. Tapi, ayolah, coba pikirkan… kenapa sih kita harus membeda-bedain kebaikan?. Misalnya pada contoh kedua, kita bisa ontime kalau disuruh dosen tapi dinanti-nanti kalau ketemu temen, bisakah kita menyerbarkan kebaikan kepada semua orang?. Nggak membeda-bedakan statusnya, atau dampak keuntungan yang ia berikan kepada kita?.

Bukankah kita pernah merasa amat kesepian padahal kita tengah berada di tempat yang ramai?, bukankah kira pernah merasa amat sedih ditengah keadaan yang seharunya membuat kita tertawa?.
Tidakkah kita rindu akan masa kecil?, ketika definisi bahagia itu amat sederhana, serta jujur mengalir apa adanya.

Bukankah kita rindu akan masa kecil?, ketika kita bisa tersenyum kepada siapapun, melupakan setiap orang yang kemarin pernah curang sama kita waktu main petak umpet, tapi sekarang kita dan dia bisa baikan lagi, senyum bersama tertawa bersama.

Pastilah kita rindu akan masa kecil. Ketika kita tidak terikat oleh kepentingan. Persetan dengan kepentingan, bahkan untuk memikirkan apa keuntungan yang akan kita dapat dari orang lain pun nggak bisa. Senyum terbaik kita tersebar kepada semuanya, tidak terbedakan atas kepentingan, kebutuhan, atau kelompok.

Jadi, ayo kembalilah menjadi kecil, kecilkan kepentinganmu, kesampingkan egoism berlebihanmu, sebaran kebaikan kepada siapa saja, persembahkan senyum terbaik kepada semuanya, bukalah semua pintu maaf untuk merea yang menyesal atas kesalahan di masa lalu, dan bungkam kebencian ditengah umat. 

0 comments

Ditunggu komentarnya ^_^

You Might Also Like

Instagram