Setiap dari Kita adalah Menyebalkan
Tuesday, December 01, 2015
Pernah nggak sih kita
mikir dalam hati, “Gimana yah aku di mata orang lain?”, “Seperti apa sih orang
lain menilai aku?”. Pernah nggak?. Kalau pernah, selanjutnya udah pernah belum
nanyain ke orang lain tentang diri kita?. Lebih sering mana sih nanya ke orang
lain atau berusaha menilai diri sendiri?.
Pernah nggak ketika
kita merasa udah melakukan hal yang benar dan sesuai dengan apa yang kita
yakini bener, tapi kok respon lingkungan seperti menolak, bahkan melawan.
Kenapa ya?, padahal aku sudah melakukan yang benar, aku sudah berusaha yang
terbaik, dll. Pernah nggak?.
Dan ketika kita mulai
mencium bau penolakan lingkungan biasanya kita mulai ngasih penguatan ke diri
sendiri. Ah jangan dengerin apa kata
orang. Ah percaya diri aja. Ah mereka mah cuma sirik aja. Mereka gitu karena
mereka ga mampu. Aku yakin aku bener, mungkin ini cobaan aja buat aku. Dan berbagai usaha pembenaran diri lainnya.
Tapi pernah nggak
ketika dihadapkan atas respon lingkungan yang kaya gitu kita malah mikir, kenapa ya respon mereka gini?. Kira-kira apa
yah salahku?. Kayanya ada yang salah deh di diri aku. Pernah nggak mikir
gitu?.
Aku mau kasih satu
teori berdasarkan pengamatan pribadi, gini:
“Setiap
dari kita pasti memiliki setidaknya satu sifat yang menyebalkan di mata orang
lain. Sifat itu bisa saja muncul dari diri kita secara sadar, dan bisa pula sebaliknya.”.
Percaya nggak?, kalau
nggak percaya juga gapapa, ini kan pendapat pribadi hehe.
Tapi serius. Setiap
dari kita pasti punya yang namanya sikap nyebelin di mata orang lain, hanya
saja kemampuan diri kita untuk menangkap sifat nyebelin itu yang berbeda-beda.
Maka dari itu,
muhasabah atau introspeksi emang salah satu jalan efektif buat nyari sifat
nyebelin dalam diri kita, coba deh cari, pasti ketemu…
nah kalau misalnya
emang susah buat nyari sifat nyebelin dalam diri ya cara selanjutnya adalah
dengan Tanya ke orang-orang yang berinteraksi langsung dengan kita. Misalnya
mulai dengan pertanyaan “eh aku itu
orangnya gimana sih?”, atau “eh kasih
aku masukan atau kritik dong!”. Dengan bertanya langsung gini pastinya kita
bakal dapet informasi langsung dari orang-orang di sekitar kita, mereka yang
melihat kita dari luar, karena kita emang perlu tau gimana rupa kita menurut
perspektif tiap-tiap orang, dan tentunya tiap-tiap orang akan menggambarkan
kita berbeda-beda, nah informasi ini paling enak buat jadi bahan renungan kita
setiap selesai shalat, menjadi bahan introspeksi kita dalam doa.
*******
Dan selanjutnya,
sekarang coba bayangkan pakai sudut pandang ketika kita menilai orang lain.
Misalnya nih, kita yang lagi sekolah atau kuliah. Ada salah satu temen kelas,
dia emang pinter, ulangan selalu perfek. Setiap ada pertanyaan dosen atau guru
ia selalu angkat tangan dan fasih berpendapat, kita awalnya pasti kagum tuh
sama itu bocah, tapi lama kelamaan ia selalu menguasai kelas, setiap pertanyaan
selalu ia jawab, ada kesempatan dikit langung angkat tangan, kadang bahkan
sampai menyerobot bicara.
Mungkin kalau kita
pakai sudut pandang diri “dia” tidak ada masalah dengan hal ini, ia hanya ingin
kuliah dengan sungguh-sungguh, ingin memperoleh nilai baik dengan kompetitif.
Namun ketika kita
memposisikan diri sebagai orang lain di mata dia, tidak dapat dipungkiri akan
terbentuk stigma negative tentang dirinya, misalnya dengan munculnya pertanyaan
sederhana “Dia mah nanya mulu”, “Dia mah
ngga ngasih kesempatan buat yang lain” dan ungkapan lainnya, awalnya
mungkin ini cuman cibiran dalam hati aja, eh ternyata kita denger temen kelas
yang lain juga merasakan, akhirnya suara dalam kelas semakin keras sampai
akhirnya terdengarlah sama si dia.
Banyangkan kalau dia
malah memilih untuk memotivasi dirinya: “Jangan
dengerin apa kata orang, mereka mah gitu cuma sirik karena ngga mampu”.
Mungkin selanjutnya dia akan tetap melakukan apa yang ia anggap baik dan benar,
dan rasa sebal kita boleh jadi semakin menguat kepada dia.
Artinya apa, menurutku
cara memotivasi diri si “dia” dengan ngomong “Jangan dengerin apa kata orang, mereka mah gitu cuma sirik karena ngga
mampu” terasa kurang tepat, karena tanpa ia sadari ada sebuah sifat dalam
dirinya yang terasa menyebalkan di mata orang lain. Dan saya rasa kita pun akan
sepakat agar sifat menyebalkan itu diperbaiki, bukan berarti merelakan semangan
kompetitifnya, namun setidaknya untuk memberikan kesempatan kepada yang
lainnya.
********
nah setelah dengan cara
muhasabah atau introspeksi diri, kemudian kedua dengan cara bertanya langsung
kepada orang-orang di sekitar kita, selanjutnya adalah cara yang (menurutku)
belum banyak dari kita yang memiliki kemampuan melaksanakannya, yaitu: membaca
lingkungan.
Misalnya pada contoh kasus di atas tuh, si “dia” lebih memilih untuk
menyakinkan dirinya agar lebih kuat menggigit prinsipnya, padahal ia telah
mencium respon lingkungan yang cenderung berlawanan dengan prinsipnya.
Baiklah, cerita di atas
hanyalah contoh betapa kita pun kadang mengganggap seseorang menyebalkan atas
beberapa perlakuan orang lain yang mungkin hanya perihal sepele yang bahkan ia
tidak menyadarinya.
Namun coba kita
bayangkan jika diri kita adalah si “dia” dalam cerita di atas. Tentunya cerita
Dalam Kelas hanya contoh aja, kita bisa membayangkannya dalam kasus dalam
kehidupan sehari-hari yang lebih beragam dan kompleks.
Ketika kita mencium bau
respon yang tidak baik atas masyarakan terhadap kita manakah metode yang akan
kita pakai, (1) Muhasabah/Introspeksi diri; (2) Bertanya langsung; (3)
Menganalisa Lingkungan untuk kemudian menyimpulkannya; atau kita malah memilih
untuk (4) anti pati atau bahkan masa bodo sama orang lain, peduli amat sama
ledekan orang.
Kalau saya sendiri
tidak menafikan bahwa memang terlalu focus mengurus apa omongan orang lain
hanya akan melelahkan diri kita, meredupkan mimpi kita. Hal itu memang perlu
dipegang dan diterapkan dalam kehidupan.
Namun saya juga percaya
bahwa setiap dari kita membutuhkan nasihat, masukan bahkan kritikan dari orang
lain. Dan kesemuanya itu tidak selalu disampaikan dengan kata-kata yang manis,
sopan, dan dengan bahasa yang tersrtuktur namun bisa juga lewat ledekan,
sindiran, bahkan makian. Saya tidak setuju juga semua makian harus
digeneralisasikan sebagai katergori perkataan yang tidak perlu didenger, karena
di baliknya pasti terdapat pesan yang
bisa kita tangkap.
Ketika kita denger ada
yang ngomongin kita dibelakang kita dengan ucapan “ah dia mah orangnya egois…”
secara naluriah mungkin kita akan marah dan diri kita akan sepenuhnya menolak
anggapan tersebut. Namun tidak bisakah kita lebih baik legowo menerimanya?,
melawan gejolak perlawanan dalam diri hanya untuk sesaat saja. Kita terima,
kita masukkan dalam hati, meski terasa sakit, namun itu bisa jadi satu bahan
istimewa untuk bermuhasabah.
Bukankah hal itu lebih
menentramkan hati?. Ketika akhirnya menemukan satu sisi kekurangan dalam diri
kita untuk kemudian ditambal.
Ketika telinga kita
terasa panas mendengar ledekan, ketika hati kita berontak ketika menerima
kritikan, maka kita seharusnya sudah tahu, bahwa sifat menjengkelkan kita
adalah enggak mau dikritik dan penginnya
menang sendiri tuh kan ketemu! J
Dan pada akhirnya aku
pengin ngajak
Agar kita semua selalu
merasa, bahwa setiap kita itu nggak sempurna
Bahwa setiap kita pasti
punya kejelekan yang senantiasa membutuhkan perbaikan,
Kalau kita susah
menemukan kejelekan dalam diri kita, maka sesungguhnya boleh jadi justru saat
itu kita tengah berada pada masa penyakit egoism yang paling akut!.
Kita harus perncaya
bahwa setiap dari kita adalah menyebalkan
Setiap dari kita
setidaknya pasti punya sifat menyebalkan
Dan itu harus kita
perbaiki
Karena kesalehan kita
tidak hanya tercermin dari kuantitas ibadah ritualitas semata, namun juga
kesalehan dalam bersosial.
Hablu mina Allah-nya harus
mantep
Habli mina An-Nas-nya juga
harus keren
Selamat berburu,
Selamat berburu
kejelekan hati kita sendiri.
Hey kamu!, iya kamu!.
Kamu tuh nyebelin tau
nggak!!!!.
0 comments
Ditunggu komentarnya ^_^