Anehnya Muhammadiyah

Tuesday, November 21, 2017


Persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi Masyarakat yang tahun ini berusia 105 tahun. Ia lahir sebelum Negara Indonesia ini diproklamasikan. Ia digadang-gadang sebagai gerakan puritan dan modernis. Mencita-citakan membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Menginterpretasikan nilai-nilai ketuhanan ke ranah praksis masyarakat, dan tidak hanya sekedar ritual-event-upcara semata.

Saya secara personal masih belum lama mengenal Persyarikatan ini. Jika dihitung, baru sekedar 3 tahun. Masih bocah kemarin sore. Artinya sebelum itu, Muhammadiyah telah berdiri selama seabad lebih 2 tahun lamanya. Satuan waktu yang amat panjang. Setidaknya saya harus mempunyai satu cucu, kemudian cucu saya memiliki cucu, lalu cucu saya memiliki cucu lagi, begitu seterusnya hingga 5 kali agar menyamai usia Muhammadiyah hari ini. Atau paling sedikti 3 atau 4 generasi kalau ternyata keturunan di bawah saya banyak menjomblo dan nikah di usia tua.


Dulu ketika baru saja secara struktural masuk dalam Muhammadiyah melalui Organisasi Otonom kemahasiswaannya, yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) saya gemar sekali mendefinisikan apa itu Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah ini dan itu, Muhammadiyah boleh begini, Muhammadiyah tidak boleh begitu. Apalagi ketika mendengar ucapan dari senior “Kalau saya sayat nadi saya dengan pisau, maka darah yang keluar bukan merah, tapi hijau. Karena saya orang Muhammadiyah!”. Wuih, makin membara betul semangat Beta!.

Namun, seiring berjalannya waktu, bersama pengalaman dan romansa yang saya rasakan. Keanehan demi keanehan terus berdatangan. Membuat saya sering mengernyitkan dahi, alis sering naik turun, otak berpikir keras sambil bertanya:

“Lho kok Muhammadiyah begini?.”.

Muhammadiyah (katanya) punya banyak Amal Usaha, sebut saja ada Rumah Sakit, Panti Asuhan, Sekolah, Universitas, Panti Jompo, Tempat Penitipan Anak, sampai Klinik di atas kapal laut pun (katanya) ada. Jadi kalau kita keliling Indonesia terus ketemu satu tempat yang nggak ada Sekolahan Muhammadiyahnya. Mungkin kita sedang terdampar daerah Sunagakure, yang saat ini dipimpin oleh seorang Kazekage bernama Gaara, dulu sempat mengalami pertarungan yang sengit dengan Naruto, tapi setelah dewasa mereka justru menjadi jembatan perdamaian di antara kedua desa tersebut, sehingga Desa Sunagakure dan Konohagakure kini hidup dengan damai.

Emm. Sampai mana tadi.. Oh ya.

Seiring berjalan waktu, banyak hal-hal yang tidak saya ketahui tentang Muhammadiyah mulai banyak terungkap. Hal yang mungkin tidak akan saya ketahui bila saya tidak masuk dalam persyarikatan ini.

Dulu ketika saya baca tentang aset yang dimiliki Muhammadiyah, saya langsung kagum. Perguruan Tingginya ratusan, Rumah Sakit bejibun, Panti Sosial berlimpah, Sekolahnya, hmm tidak perlu ditanyakan. Waw, fiks!. Muhammadiyah pancen oye!. Sampai akhirnya Avatar menghilang dan negara api menyerang. Eh, maksud saya, sampai akhirnya saya mulai berkecimpung dalam urusan internal organisasi ini.

Pernah suatu ketika hendak menyiapkan perkaderan Darul Arqam Dasar, maka dicarilah tempat-tempat amal usaha Muhammadiyah berada, tanya Google Maps, dimasukkan kata kunci Muhammadiyah, maka berderetanlah berbagai macam amal usaha Muhammadiyah.

Viola!, ketemu satu sekolah. Tempatnya pinggir jalan utama, akses mudah, tidak jauh-jauh amat, dan strategis. Selanjutnya meluncurlah tim untuk mengajukan surat permohonan tempat. Betapa kagetnya saya ketika sampai di lokasi ternyata tidak ada sekolah Muhammadiyah di sana. Sial betul saya dibohongi Google Maps. Akhirnya digunakanlah metode GPS (Gunakan Penduduk Sekitar), setelah bertanya ternyata letak sekolahnya sudah tidak lagi di sana, namun mundur ke belakang melalui gang kecil masuk ke desa.

Setelah sampai di lokasi, ngobrol lah kami dengan salah satu pengurus sekolah. Termasuk mengenai lokasi sekolah ini. Usut punya usut ternyata dulu mereka pernah sengketa tanah, dan akhirnya dimenangkan oleh pihak penggugat. Ya Allah, kasihan ya. Namun Alhamdulillah, Allah sudah berikan ganti yang lebih baik. Satu perangkat gedung hibah dari Pemerintah Provinsi. Itulah setidaknya saya mulai banyak mengernyitkan dahi, karena menyaksikan realita perjuangan menghidupi persyarikatan ini. Keharuan tidak berhenti ketika mendengar ternyata Guru sekaligus Tata Usaha sekaligus Pembina Tapak Suci, dan sekaligus semuanya ini, tidak mengambil upah bayaran. “Saya nggak ambil gajih, semuanya buat ibadah.”. Lho kok Muhammadiyah begini ya?. Aneh sekali.

Keanehan masih saja berlanjut bersama waktu yang saya lalui di persyarikatan ini. Pada awal berada di pengurusan, saya selalu saja membayangkan bahwa IMM ini menjadi gerakan mahasiswa dengan jumlah kader yang melimpah, semua Mahasiswa harus masuk ikatan ini. “Lihat nih Muhammadiyah, saya mendapatkan begitu banyak hikmah yang berlimpah, kalian harus merasakan ini!.”. Begitu kurang lebih bisik saya dalam hati ke pada Mahasiswa yang berseliweran melewati Sekretariat IMM. Namun keinginan saya ini berujung dengan tidak begitu menyenangkan, mana kala ternyata usaha mengenalkan IMM tidak mudah.

Keluhan saya memuncak manakala mengetahui, mengapa justru input kader dari alumni sekolah Muhammadiyah kendur. Mengapa demikian?. Justru harusnya merekalah yang datang menghampiri. Tidak harus dirayu-rayu. Bahkan ada pula yang lebih memilih bergabung dengan organisasi lain. Saya mengernyitkan dahi lebih kuat. Kenapa, saya bertanya-tanya. Apa yang kurang dari Muhammadiyah?. Kok tega sekali. Nanti yang akan mengurus sekolah, rumah sakit, panti asuhan siapa?.

Saya bayangkan. Andai saja Muhammadiyah mengharuskan anak-anak yang bersekolah di Muhammadiyah supaya menjadi kader. Bila saja Muhammadiyah meluluskan 3 juta siswa/mahasiswa per tahun. Muhammadiyah akan bertambah anggotanya hingga 3 juta pengurus tiap tahunnya!.

Sampai akhirnya saya menemukan satu tulisan yang amat mengagetkan dari almarhum AR Fachrudin. Judulnya “Jangan Buru-buru Masuk Muhammadiyah.”.
........
“Kalau Saudara belum mengetahui benar-benar apa yang menjadi dasar dan tujuan Muhammadiyah saya nasihatkan lebih baik Saudara jangan tergesa-gesa memajukan surat permintaan menjadi anggota Muhammadiyah. Jangan! Jangan! Agar saudara tiada menyesal.”.
Ya Allah, apa lagi ini. Lho kok Ketua Umum Muhammadiyah malah berucap begini?.

“Mengapa demikian?  Menjadi anggota Muhammadiyah hanyalah berarti menyediakan diri untuk dapat dan sanggup memikul berbagai bagai tugas dan kewajiban karena Allah. Tugas dan kewajiban itu hanyalah dari dorongan dari rasa kesadaran sebagai seorang Muslim yang benar-benar ingin mengabdi dan berbakti kepada Allah semata-mata untuk kemuliaan dan keluhuran Agama Islam (Agama Allah) di bumi Indonesia, Negara yang sama-sama kita cintai ini.”
Kemudian saya terdiam dan akhirnya terperanjat ketika membaca paragraf berikutnya,
“Muhammadiyah tidak memaksa! Muhammadiyah tidak akan memaksa. Karena Muhammadiyah menyadari bahwa mereka yang memasuki Muhammadiyah secara terpaksa, tidaklah akan ada artinya.Anggota yang demikian tidak akan berguna bagi dirinya dan tidak akan berguna pula bagi Muhammadiyah.

Anggota Muhammadiyah yang masuknya secara terpaksa, anggota itu tak akan beramal untuk Muhammadiyah: mereka akan banyak melanggar norma-norma Islam.Mereka akan mendapatkan sorotan yang tidak baik dari masyarakat, dari kalangan Muhammadiyah dan juga tentu Allah subhanahuwata’ala.Karena itu sekali lagi jangan Saudara tergesa-gesa memasuki Muhammadiyah. Dan jangan sekali-kali Saudara memasuki Muhammadiyah secara terpaksa!!.

MasyaAllah!. Tidak ada dapat yang saya katakan, selain terdiam dan merenung. Sebelumnya saya kira, Muhammadiyah harus banyak memperbaiki sistem perkaderan, sungguh aneh melihat Muhammadiyah yang memasuki abad ke dua namun masih terlihat baru dan asing di masyarakat. Yang saya pikirkan Muhammadiyah hanya sekedar melimpah soal kuantitas, semua orang harus jadi Muhammadiyah.

Namun saya melewati satu unsur yang paling penting: yaitu kesadaran. Kesadaran dan kerelaan diri untuk menghidupi Muhammadiyah sebagai media beribadah kepada Allah. Harusnya tidak semata masuk IMM ajakan yang diserukan, namun lebih dari itu adalah mengajak untuk sadar, siap atau tidak berjuang, beribadah dan berbakti kepada Allah. Bila siap, mari, IMM adalah wadahnya.

Karena memang jalan yang akan dilalui ketika bermuhammadiyah adalah jalan berjuang, belajar dan belajar, membentur dan menempa diri, mengabdi dan mengabdi karena saya sadar Muhammadiyah tidak butuh orang yang gampang menyerah, mudah mengambek dan sakit hati. Pantaslah Jenderal Sudirman menegur “Sungguh berat menjadi Kader Muhammadiyah, bila ragu dan bimbang lebih baik pulang!.”.


Dan hari ini, ketika harus mendefinisikan apa itu Muhammadiyah, rasanya begitu sulit, karena dipenuhi dengan keanehan dan hal-hal prinsipiil yang kontradiktif, katanya organisasi agama tapi tidak anti teknologi tidak alergi filsafat, punya banyak sarjana, doktor profesor tapi tidak mau dipanggil Kiyai, katanya orang-orangnya rasional, tapi pengurusnya mau-maunya memberikan harta bendanya padahal Muhammadiyah tidak akan menebusnya.

Barangkali itulah sebabnya Muhammadiyah masih nampak unik di negeri ini. Ketika Ahmad Dahlan sudah meluruskan kiblat shalatnya pada tahun 1897, kementrian agama baru menyusul lebih dari seabad kemudian, ketika masyarakat muslim pada era kolonial membenci Eropa, Ahmad Dahlan justru bermesraan dengan mereka dan menyerap teknologi dan ilmu pengetahuannya untuk memajukan masyarakat muslim, dan akhirnya hari ini sekolah Islam modern berdiri di mana-mana.

Sulit memang untuk memahami Muhammadiyah, visi dan alam pikirannya sudah berlari ke masa depan, tapi kaki dan tangannya sedang sibuk menolong orang tertindas,--masuk ke desa-desa, kawasan bencana dan konflik. Juga kepada kaum mustadz affin di Rumah Sakit, Pantu Sosial dan Sekolahnya. Oleh karenanya, boleh jadi keputusan atau sikap yang di ambil Muhammadiyah selalu saja baru dan tidak familiar dan mainstream di masyarakat. Seperti penggunaan hisab/falak/ilmu astronomi untuk penentuan bulan hijriah dan waktu salat, untuk saat ini belum begitu diminati, namun bisa saja suatu saat semua akan mengikuti. Barangkali itulah konsekuensi yang mesti dibayar untuk gerakan Islam puritan dan modernis.

Di usia yang ke 105 tahun Muhammadiyah ini, rasanya tidak banyak hal yang saya ingin ucapkan, saya tidak begitu berani untuk menuntut persyarikatan ini, terlalu banyak pengalaman, teladan, hikmah dan pelajaran yang saya dapatkan, yang saya sendiri tidak tahu bagaimana harus membalasnya.

Muhammadiyah mengajarkan untuk langsung beraksi nyata ketimbang banyak berbicara. Justru sebaliknya, jauh lebih banyak untuk saya perlu merenung. Tentang apakah ibadah adalah alasan utama saya berada di persyarikatan ini, apakah yang telah saya infakkan untuk Muhammadiyah, sedangkan ribuan warga Muhammadiyah lain telah memberikan harta benda, tenaga juga usianya untuk menghidupi persyarikatan ini, sudahkan kepribadian saya sesuai dengan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), sudahkah pandangan saya ke depan sesuai dengan visi Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM). Barangkali yang tersisa hanyalah rasa syukur. Terima kasih ya Allah. Terima kasih untuk tahun yang ke-105 Persjarikatan Moehammadijah: Gerakan Islam Berkemajoean.

6 comments

  1. Keren mas ay tulisan na. 😉 smga bnyak org yg sadar betapa pentingnya jihad fii sabilillah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Om Nyanyang.
      Iya Nyang, bismillah, mudah2n milad 105 Muhammadiyah ini bisa jadi momen bagi kita untuk muhasabah lagi soal niat kita bermuhammadiyah.

      Delete
  2. Iyaa mas iyaa terharuuuuu :(
    Semogaaaa semangaat jihad menghidupi persyarikatan selaluu dalam ridhaNya ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Rabbal Alamin, Makasih Anonim ^_^

      Delete
  3. Bagus, lebih menginspirasi para pejuang muda untuk selalu mencari inspirasi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hatur Nuhun Bro. Sok lah kencengkeun deui gerakan kita. Sejarah Umat telah menuntut bukti...

      Delete

Ditunggu komentarnya ^_^

You Might Also Like

Instagram