Kisah KKN #3 Gemah Ripah Loh Jinawi

Friday, August 03, 2018



Hari ketiga ini—seperti biasanya—diawali dengan subuh yang luar biasa dinginnya, di google ketika gue cek suhunya, menunjukkan angka 9 derajat celcius, which is it’s really damn cold. Berdasarkan catatan suhu terrendah di Kota Bandung yang pernah tercatat adalah pada angka 9 derajat celcius pada tahun 1991, dan di sini gue akan menghadapi suhu serupa for every single day, selama sebulan ke depan. Wkwkwk.
Hari ketiga ini overall sangat menyenangkan, untuk pertama kalinya gue mulai bersentuhan langsung dengan alam Desa Warnasari ini.
Selepas subuh dan
menunggu matahari terbit—dan tentu tidak mandi, you know why—gue dan temen-temen bertiga terganteng di kelompok ini (karena cowoknya cuma 3 orang haha) mencoba menyusuri daerah-daerah di dusun ini...

Ternyata tepat di belakang kawasan penduduk warga langsung terbentang ribuan hektare kebun teh. Dan momentum ini tentu saja kita jadikan ajang untuk hunting, bukan berburu babi hutan, tapi berburu pose foto terbaik, hehe.





Kebun teh ini beneran luar biasa luas, kata Bapak Rumah yang kami kontrak, luasnya mencapai 3000 hektare, luas pisan. Dan bila disusuri terus ke atas maka akan langsung bertemu dengan hutan lindung milik Perhutani.
Setelah puas dan lelah berputar-putar, Maka kembalilah kita ke posko tercinta. Di posko kebetulan adalah Bapak Kontrakan, maka ngobrollah gue tentang Perkebunan Teh ini.

Ada nuansa mengeluh sepanjang obrolan ini terjadi. Jadi dahulu, pada era rezim Suharto, PT Nusantara Persero (Pemilik lahan kebun teh) ini banyak membantu dalam mensejahterakan warga Warnasari, setidaknya ada 3.000 warga yang menjadi karyawannya. Namun sejak era reformasi, semuanya berubah, PT Nusantara melakukan PHK besar-besaran, kuantitan produksi dikurangi. Hingga hari ini hanya sekitar 500 warga saja yang bekerja di PT Nusantara Persero untuk mengelola lahan kebun teh ini.
Ketika gue tanya terus usaha warga berpindah ke mana, jawabannya mereka pergi berkebun di daerah hutan lindung Perhutani, dan atau beternak sapi perah.

Kata Bapak Kontrakan, dulu di zaman rezim Suharto juga bagi Warga yang hendak beternak diberi bantuan untuk menyelenggarakan peternakan secara Cuma-Cuma, warga yang berkebun diberikan bantuan bibit dan pupuk. Tapi kini warga tidak lagi mendapatkan support itu, mereka hanya berternak dan berkebun seadanya dan alakadarnya saja. Karena hanya dengan cara itu mereka bisa bertahan hidup.
Well, sepertinya satu fakta kondisi warga warnasari ini mulai gue ketahui...

Untuk agenda hari ini agaknya cukup padat, jam 8 nanti kita sudah janjian akan bertemu dengan anak-anak PAUD di dekat Masjid Jami al-Kautsar, bada dzuhurnya akan kembali di tempat yang sama untuk bertemu dengan anak-anak Madrasah Diniyah, dan Bada Ashar silaturahmi ke rumah Bapak RW yang baru saja di lantik, terakhir bada magrib bersama-sama mengikuti zikir berjamaah di masjid. Well, nampaknya KKN telah memasuki babak yang sesungguhnya....

Rencana untuk bertemu dengan anak-anak PAUD agaknya lumayan telat, karena kita lebih mendahulukan untuk sarapan dulu untuk kemudian berangkat ke PAUD, hehe. Alhasil rombongan kelompok baru sampai ke PAUD pada pukul 9 pagi.

Dan di sana anak-anak baru saja selesai melaksanakan olah raga, dan yaa akhirnya kita kelewatan momen tersebut.
Tapi kita—well sebenernya temen-temen yang jago ngurus anak-anak—berkesempatan buat main bersama di halaman madrasah, dan gue, Ya berusaha membantu yang gue bisa aja. Haha...


Gue emang masih rada struggle dalam menghadapi anak-anak, maksudnya gue masih kikuk dan kaku dalam menghadapi mereka. Entah karena pengalaman interaksi gue dengan anak-anak yang masih minim, atau memang passion gue bukan di sana (ini kayaknya alesan gue aja deh), tapi yaa, karena ini adalah saat di mana udah sekian lama gue nggak pernah ngajar anak-anak, maka aktivitas ini menjadi momen paling awkward hari ini...





Sore harinya ketika sowan ke rumah Pak RW, ada beberapa hal yang mencuri perhatian gue.. setelah pagi tadi keliling di daerah perkebunan teh dan melihat kawasan hutan lindung Perhutani. Yaitu tentang seberapa banyak kekayaan alam di desa ini berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat Desa Warnasari. Gue jadi keinget dengan obral dengan Bapak Kontrakan pagi tadi selepas gue pulang dari kebun teh.

Pak RW memberikan detail yang lebih jelas lagi. Jadi memang warga yang menjadi karyawan di PT Nusantara Persero ini menang semakin berkurang jumlahnya hanya sekitar 100-an, hanya 50 orang yang menjadi karyawan tetap, sisanya kontrak. Hal ini menurut Pak RW didukung pula dengan proses pengelolaan yang berganti dengan mesin.
Dan yang bikin miris adalah, untuk warga yang menjadi buruh petik teh, perhati hanya digajih sebesar Rp25.000,- perak per hari untuk luas kebun 25 tumbak, satu tumbal adalah 16 meter persegi. MasyaAllah ngeri nggak tuh?. Bayangin, sehari cuma pegang duit segitu, bisa ngehidupin keluarga nggak Lo?.

Ternyata kemirisan nggak berhenti di sana, karena lowongan bekerja di kebun teh yang terbatas, warga banyak yang berkebun di Hutan Lindung milik Perhutani, dan guys, tahukah kalian?. Sebetulnya menanam atau memanfaatkan lahan Perhutani adalah tindakan ilegal!. yes, aktivitas terlarang.

Jadi bagi warga yang hendak menanam di lahan Perhutani harus mau bagi hasil kepada oknum-oknum yang bisa menjamin keamanan tanaman warga. hmmm...


Yang gue pikirkan adalah,
Daerah warnasari ini luar biasa indah, air jernih mengalir tanpa henti, udara bersih bertiup 24 jam, tanah subuh merata di seluruh penjuru.
Namun nyatanya tidak mampu mensejahterakan semua masyarakat. Bukan karena kemauan atau kemauan masyarakat yang kurang, namun mereka tidak punya daya untuk melakukan itu semua.
Bayangkan, mereka tidak bisa menguasai penuh ribuan hektare kebun teh yang terbentang di halaman belakang rumah mereka sendiri. Mereka hanya boleh menjadi buruh dengan penghasilan Rp10.000,- dan paling banyak Rp25.000,-
Mereka dilarang berkebun di bukit-bukit hutan yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka sendiri. Bila ingin, mereka harus sembunyi-sembunyi, mengakali proses birokrasi hanya untuk sekedar bercocok tanam di tanah air mereka sendiri.

Sebagai mahasiswa, ya katakanlah akademisi, gue menemukan banyak paradoks di sini.
Di kalangan aktivis mahasiswa, dan akademik kampus, rezim Suharto kerap dicaci dan dibenci oleh mahasiswa yang bahkan mereka tidak pernah mengalami pemerintahan Suharto, namun orang-orang tua di sini justru merindukan pemerintah yang demikian. Mereka barangkali tidak mengerti teori-teori politik, hukum tata negara, diplomasi level elit negara karena itu bukan tugas mereka, mereka hanya ingin bisa diberikan support untuk memanfaatkan kekayaan alam yang menjadi warisan nenek moyang mereka.
Mereka butuh dididik teknologi perkebunan dan peternakan, oleh biaya pajak yang mereka rutin bayar sendiri.
Mereka butuh legalitas mengelola lahan, yang turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka sendiri.
Namun pada akhirnya gue nggak bisa menjadi orang yang hanya ikut mengeluh melihat kondisi ini. Keluhan mereka ini artinya adalah tugas yang Allah kasih ke gue.
Minimal untuk ikut menyuarakan keluhan mereka, dan maksimal berjuang menjadi pemangku kebijakan untuk membantu.
Setidaknya gue mulai tercerahkan bagaimana roda masyarakat di level akar rumput seperti pedesaan.
Gemah Ripah Loh Jinawi adalah peribahasa yang menggambarkan betapa indahnya alam di Indonesia ini.
Untuk menguji peribahasa ini satu-satunya cara adalah dengan melihat kehidupan di masyarakat pedesaan. Di sanalah makna Gemah Ripah Loh Jinawi yang auntentik bisa didapatkan.
Ataukah peribahasa itu telah lama punah, ditelan oleh keserakahan dan kesemerawutan orang-orang ‘kota’.

0 comments

Ditunggu komentarnya ^_^

You Might Also Like

Instagram