Kisah KKN #4 – Dinamika Sosial

Saturday, August 04, 2018



Yeay hari ke-4, artinya KKN tinggal 27 hari lagi!!! ^_^ Well, itu masih lama...
Hmmm... hari ke empat.. kalau kemarin rasany aktivitas padat banget, kayaknya hari ke 4 ini kebalikannya. Overall hanya ada satu agenda hari ini, yaitu rembuk warga, kayak semacam musyawarah bareng warga itu deh... tujuannya untuk menggali informasi tentang potensi dan permasalahan yang ada di masyarakat, yang nantinya dari data yang sudah diperoleh akan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk kegiatan oleh kelompok KKN.

Sebenernya rembuk warga ini harus jadi kegiatan pertama sebelum terjun langsung ke warga, cuma gue dan temen-temen barangkali butuh waktu buat adaptasi dulu sebelum akhirnya bisa lancar berkomunikasi dan berdiplomasi ke warga-warga. Dari 3 hari jatah waktu yang dikasih kampus, 1 – 3 Agustus 18, kita baru bisa menyelenggarakan rembuk warga pada tanggal 3 agustusnya, The last day, not bad.
Yaa, sebenernya hari ini nggak terlalu sibuk sih...
Setelah selesai jumatan gue dan temen-temen lebih dulu koordinasi ke kepala RW 04 tempat posko KKN kita, karena di hari sebelumnya beliau kabarnya siap membantu untuk mengundang warga-warga yang lain untuk hadir pada rembuk warga malam nanti.


Pas lagi bincang-bincang bareng Pak RW, kebetulan ada akang ketua karang taruna datang, which is good, akhirnya kita ngobrol juga dan beliau siap membantu mengundang masyarakat. Alhamdulillah..
Dan at last but not least, tinggal ke Pak Kepala Dusun buat konfirmasi lagi...

Kita hampiri rumah beliau, bicara satu dua.. dan fiks, beliau insya allah siap hadir, well.selanjutnya tinggal persiapin tempat bada isya. Oh ya tempat rembuk desanya di gedung madrasah al-kautsar, tempat kita kemarin ketemu dengan adik PAUD yang lucu...
Malamnya, setelah ikut jamaah di masjid al-kautsar, maka tibalah saatnya... 
animo masyarakat sangat besar, dua ruangan yang digabung terisi penuh, semangat bersama, atau masyarakat menyebutnya sabilulungan agaknya masih kental terasa.












Alhamdulillah kita tidak terlalu kesusahan dalam memulai obrolan dan diskusi, masyarakat menyambut dan berpartisipasi dalam forum dengan aktif.

Ketika diskusi mulai masuk pada penggalian permasalahan dalam masyarakat, satu per satu warga mulai bersuara menyampaikan keluhan dan permasalahan yang mereka alami, lagi-lagi perhatian gue tercuri pada bidang ekonomi, terutama relasi antara kekayaan alam dengan kesejahteraan warga.
 
Sekali lagi, forum ini menunjukkan bahwa kekayaan alam di sini belum mampu mensejahterakan kehidupan warga secara merata.
Kalau kalian tanya di manakah tempat pengolahan ternak sapi perah yang ramai di Bandung, maka jawaban yang bakal kalian dapat pertama di Ciwidey dan Pangalengan, di mana keduanya adalah kecamatan di Kabupaten Bandung.
Namun lewat rembuk warga ini gue dapat satu fakta yang cukup mencengangkan,
Dahulu mayoritas masyarakat warnasari adalah peternak sapi perah, 95% di antara mereka adalah peternak sapi perah, namun semuanya berbalik 180 derajat. Hari ini hanya sekitar 5% warga yang masih bertahan mengelola sapi perah. Sungguh sangat disayangkan, identitas pangalengan sebagai produsen sapi perah tengah berada di tanduk kepunahan.
Penyebab utamanya adalah biaya produksi yang tidak sebanding dengan keuntungan. Harga susu sapi melorot. Dahulu susu sapi dijual per liter, dan hari ini susu sapi dijual per kilogram dan masih tergantung dengan kualitasnya, per kilogram susu jatuh ke angka Rp4.000,- dan bila kualitas buruk kembali jatuh ke angka Rp3.500,-/kg.
Praktis masyarakat beralih menjadi buruh perkebunan teh PT Nunsantara dan atau berkebun di hutan Perhutani.
Gue kembali mendapatkan informasi yang lebih detail mengenai upah buruh PT Nusantara dan Administrasi pemanfaatan lahan Perhutani.
Jadi tarif buruh petik teh PT PN adalah Rp500,-/Kg, dan turun menjadi Rp300,-/kg jika menggunakan mesin. Sehari-hari warga hanya mampu mengumpulkan 80 kg teh, itu sudah sangat banyak dan besar, namun mereka cuma mengantungi Rp40.000,-/per harinya. Allahu Akbar.
Ada satu warga yang sampai mengelu-elukan memohon kepada kami untuk ikut memperjuangkan agar buruh PT Nusantara mendapatkan gajih yang layak, bagi karyawan tetap mereka kedapatan gajih kuranglabih 1,5jt/bulan, dan buruh petik Rp40.000,-/hari amat jauh dari upah minimal. Untuk Upah Minimal Regional Kabupaten Bandung per 2018 adalah Rp2.683.277,45,-/Bulan.
Hal ini diperparah dengan budaya birokrasi PT Nusantara yang korup, banyak oknum pungli dan kecurangan lainnya.
Selanjutnya, harapan lain warga selanjutnya adalah berkebun di lahan Hutan Perhutani. Ternyata berdasarkan aturan gubernur memang lahan Perhutani ini bisa dimanfaatkan warga untuk menanam komoditas kopi, namun warga hanya menjualnya dalam bentuk buah saja, sehingga belum mencapai harga maksimal bila dibandingkan dengan kopi yang telah diproses menjadi bijih atau bubuk. Lahan yang disediakan oleh Perhutani ini disiasati oleh masyarakat dengan mencampurkan tanaman kopi dengan sayuran-sayuran lainnya. hmm...
Selain keluhan dan permasalahan yang muncul, kami juga berusaha menggali potensi masyarakat, kekayaan sumber daya alam tentu menjadi kekayaan terbesar yang dimiliki oleh masyarakat, air jernih mengalir sepanjang tahun, hanya saja memang belum ada sistem pengaliran air yang baik, air dari sumber air masih disalurkan melalui pipa-pipa secara acak dan alakadarnya, pipa-pipa itu berserakan di pinggir jalan sehingga kerap kali bocor dan membasahi jalan-jalan.
Di desa ini juga telah terselenggara, Taman Baca Masyarakat (TBM) yang cukup maju, dalam rangka mengatasi permasalahan sampah di masyarakat mereka membuat bank sampah. Namun memang belum berjalan secara efektif.
Kemudian solidaritas dan semangat gotong royong yang masih kuat. Ini merupakan potensi besar yang bisa dimaksimalkan.
Menurut gue tidak mungkin masyarakat di sini tidak ingin maju dan hidup sejahtera, tentu saja mereka ingin. Mereka telah meliki faktor-faktor pendukung seperti solidaritas sosial, kepedulian sesama, dan bergotong royong.
Ketika sampah menjadi permasalahan, gue kira bukan berati mereka memang menginginkan wilayah yang kotor,
Ketika pipa air bersih berserakan di jalan-jalan, bulan berati mereka tidak mau hidup dengan air yang baik.
Tidak semua dari mereka memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi, kebanyakan hanya sampai pada pendidikan SLTP saja, jangankan universitas, SLTA saja sudah sangat jarang.
Artinya mereka butuh untuk diberdayakan, dididik dan dibimbing, diberikan skill dan pengetahuan. Karena hanya itu saja faktor utama yang masih absen dalam masyarakat warnasari.
Sekali lagi, pada akhirnya dengan hadirnya gue dan teman-teman membuka pengharapan baru bagi mereka.
Mudah-mudahan Allah kasih gue dan teman-teman untuk bisa berikhtiar sebaik mungkin. Bisa memberikan perubahan meski sedikit, namun bermaslahat untuk masyarakat banyak.

0 comments

Ditunggu komentarnya ^_^

You Might Also Like

Instagram